JAKARTA | Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hingga kini belum memeriksa Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur di wilayah tersebut sebagai keputusan yang keliru.
Menurut Herdiansyah, absennya nama Bobby dalam dakwaan atau dalam sidang bukan alasan yang cukup untuk tidak melakukan pemanggilan. Ia menilai, dalam konteks ini, yang seharusnya menjadi fokus adalah posisi dan relasi kuasa kepala daerah terhadap para pejabat yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Keliru kalau KPK menjadikan alasan belum disebutnya nama Bobby sebagai dasar untuk tidak melakukan pemanggilan. Padahal yang perlu dipotret adalah relasi kuasa yang terjadi,” kata Herdiansyah dalam keterangannya, Jumat (3/10/2025).
Sejumlah pejabat yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan, lanjut dia, merupakan bawahan langsung Gubernur. Herdiansyah menegaskan, klarifikasi dari kepala daerah menjadi hal yang penting dalam upaya penegakan hukum dan pengungkapan secara menyeluruh.
“Beberapa orang yang ditangkap itu secara hirarki berada di bawah pimpinan Bobby Nasution. KPK perlu mengklarifikasi apakah tindakan mereka dilakukan sepengetahuan gubernur atau tidak,” ujarnya.
Lebih jauh, Herdiansyah juga menyoroti adanya kedekatan politik yang menurutnya turut membentuk konteks penting dalam perkara tersebut. Ia menyebut salah satu tersangka, yakni Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut, Topan, memiliki hubungan politik yang dekat dengan Bobby sejak keduanya masih berada dalam lingkup Pemerintah Kota Medan.
“Topan adalah orang dekat Bobby sejak masih di Medan. Pernah jadi Penjabat Sekda, dan sekarang menjabat Kadis PUPR. Relasi dan kedekatan ini harus dilihat sebagai bagian dari proses penelusuran fakta,” kata Herdiansyah.
Ia menambahkan, terdapat dua alasan utama yang seharusnya cukup bagi KPK untuk meminta klarifikasi dari Gubernur. Pertama, posisi para tersangka sebagai bawahan langsung dalam struktur pemerintahan. Kedua, adanya relasi politik antara kepala daerah dan pejabat yang terlibat.
“Jadi, tidak bisa hanya beralasan bahwa nama Bobby tidak disebut-sebut dalam sidang, lalu KPK tidak memanggilnya. Itu keliru. Relasi kuasa dan genealogi politik semestinya menjadi bagian dari pertimbangan utama,” katanya.
Herdiansyah menegaskan, pemanggilan kepala daerah oleh KPK merupakan hal yang lumrah dalam proses hukum, dan tidak perlu disikapi secara politis. Ia justru menilai, jika KPK terus menahan diri tanpa alasan yang memadai, hal itu justru dapat memunculkan kecurigaan di tengah masyarakat.
“Tidak perlu ditabukan. Pemanggilan gubernur itu hal biasa saja. Justru kalau KPK terus beralasan seperti sekarang, publik akan bertanya-tanya, ada apa dengan KPK?” ujarnya.
Sebelumnya, KPK menyatakan belum memanggil Gubernur Sumut karena belum ditemukan keterkaitan langsung dalam konstruksi perkara sementara. Namun, lembaga antirasuah itu menyebut tidak menutup kemungkinan pemeriksaan dilakukan apabila bukti mengarah ke keterlibatan pihak lain. (*)