Labuhanbatu-BaraNews Sumut | Kepala Desa Sei Pelancang, Kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara Parulian Situmorang, bisa dikata sosok pemimpin di desa yang pemberani.
Dia berani menabrak aturan yang ada, salah satunya soal penonaktifan terhadap Jansen Dolok Saribu Kepala Dusun II Karya Maju, dan mengangkat Tugino warga Dusun II yang notabenenya bukan perangkat desa menjadi Kepala Dusun (Kadus) di dusun itu.
Permendagri nomor 67 tahun 2017 dan Perda nomor 5 tahun 2017 yang mengatur tentang pemberhentian dan pengangkatan perangkat desa ditabrak oleh Parulian Situmorang.
Selain melakukan tindakan yang sewenang-wenang, Parulian Situmorang juga nekat melakukan pungli terhadap warga di desanya. Pungutan liar (Pungli) yang dilakukan Parulian dalam hal administrasi biaya surat ganti rugi sebidang tanah.
Untuk biaya administrasi pengurusan surat ganti rugi sebidang tanah, bagi Parulian Situmorang tidak ada istilah seikhlas hati berapa diberi dari si penjual (pemilik lahan/tanah).
Parulian merasa tandatangan seorang Kepala Desa itu mahal. Sehingga biaya pengurusan ganti rugi surat tanah di desa itu ia tentukan nominalnya.
Hal itu dikatakan warga Dusun II, Desa Sei Pelancang Ustad Nurdin, selaku tokoh agama di dusun itu kepada awak media ini beberapa hari lalu.
Nurdin menjelaskan, beberapa waktu lalu ada membeli sebidang tanah (pertapaan rumah) dari warga setempat dengan nilai biaya sebesar 35 juta rupiah.
“Saat itu ganti ruginya masih secara sepihak belum lewat pemerintahan desa. Lalu saya urus surat tanah saya secara pemerintahan di desa. Biaya pengurusan surat tanah itu saya diharuskan bayar 1 juta rupiah oleh kepala desa,” kata Nurdin.
Dijelaskannya lagi, proses pengurusan administrasi surat ganti rugi tanah yang ia beli beberapa waktu lalu itu awalnya melalui Tugino S Pd yang telah diangkat sebagai Kadus oleh Parulian.
Menurut Nurdin, Tugino mendatangi ia ke rumahnya dan mengatakan, bahwasannya Kepala Desa meminta biaya administrasi surat ganti tanah tersebut sebesar Rp 1 juta.
Nurdin pun mengaku keberatan atas besaran biaya dimaksud. Esoknya Nurdin didampingi Tugino menemui Parulian Situmorang yang saat itu sedang duduk – duduk di warung yang tidak jauh dari rumahnya.
“Lalu saya berikan amplop berisi uang Rp 500.000 kepada Pak kades. Kemudian Pak Kades mengatakan, berikan amplop itu kepada Tugino. Saya pun menyerahkan uang dalam amplop tersebut kepada Pak Tugino,” jelas Nurdin.
Keesokan harinya, tambahnya, Tugino datang lagi ke rumahnya membawa amplop berisi uang yang telah diserahkannya untuk biaya administrasi surat ganti rugi tanah miliknya.
“Disebut Pak Tugino, kalau Pak kades tidak mau 500.000. Kades tetap meminta 1 juta, kalau tidak mau bayar 1 juta, surat yang sudah diteken akan diminta kembali,” terang Tugino kepadanya.
Mendengar keterangan dari Tugino, Nurdin pun mengatakan,” jangankan 1 juta, 2 juta pun saya beri, tapi saya foto waktu penyerahan,” sebut Nurdin.
Mendengar jawaban Nurdin seperti itu, Tugino pun berubah parasnya dan mengatakan kepada Nurdin, agar mengurus saja sendiri surat tersebut.
“Ya sudah kalau begitu urus sajalah sendiri, aku banyak kesibukan,” ucap Tugino berlalu pergi.
Nurdin yang saat itu mau mengambil pinjaman uang dari bank, menceritakan hal itu kepada Ronal warga setempat yang menjembatani antara ia dengan pihak bank.
“Pak Ronal bilang ke saya, sini uangnya biar saya yang berikan ke Kades. Lalu saya berikan uang 1 juta kepada Pak Ronal. Esoknya Pak Ronal datang membawakan kepada surat keterangan usaha dari desa dan mengaku telah memberikan uang tersebut kepada Kepala Desa,” bebernya.
Awalnya, Nurdin menilai, tindakan Kepala Desa yang menekan biaya administrasi surat itu dampak dari acara pada bulan Maret tahun 2023 saat acara Musyawarah Desa (Musdes) di kantor Kepala Desa.
“Di acara Musdes tersebut saya mengusulkan pada program ketahanan pangan, dibentuk kelompok tani dalam bidang peternakan yang dananya bersumber dari Dana Desa (DD). Saya mencontohkan keberhasilan di Dusun Sei Cina Desa Sei Rakyat,” tuturnya.
Mendengar usulan tersebut, lanjutnya, Parulian Situmorang bukan menanggapi dengan bijak, tetapi malah emosi dan menunjukkan arogansinya.
“Sudah berapa lama kau tinggal di desa ini tanya Pak Kades kepadaku. Lalu aku jawab 5 tahun Pak. Baru 5 tahun sudah banyak kali cakapmu!,” ujar Nurdin menirukan ucapan Parulian.
Kemudian, sambungnya, Parulian menanyakan apakah ia mendapat PKH? Nurdin pun mengaku ia mendapat PKH. Mendengar jawaban Nurdin, Parulian Situmorang yang berdiri pun menanyakan keberadaan Ketua kelompok PKH di ruang rapat tersebut.
“Parulian dengan suara keras berucap Pak, mana ketua kelompok PKH? mendengar suara Pak Kades, ketua kelompok PKH di desa kami pun berdiri. Cabut besok PKH nya, jangan lagi dia dapat PKH,” cetus Parulian Situmorang kepada ketua kelompok PKH dicontohkan Nurdin.
Lebih parahnya lagi, masih kata Nurdin, Parulian Situmorang dihadapan para warga yang menghadiri Musdes tersebut, bahkan saat itu juga hadir Babinsa, Parulian Situmorang menyebut dirinya anti Kristen.
“Parulian tunjuk saya dan mengatakan, saya tanda orang ini!! Ini orang anti Kristen!, ini kan sudah ke SARA Pak. Dasar apa ia katakan saya anti Kristen. Tidak secara langsung, ia tanamkan kebencian warga yang beragama Kristen kepada saya. Sedangkan saya dianggap sebagai tokoh agama Islam di dusun saya,” papar Nurdin.
Menurut Nurdin, bila pun usulannya tidak tepat, atau program itu pernah dilakukan masa dulu, tidak selayaknya ia selaku Kepala Desa berbuat dan berucap sedemikian rupa terhadap dirinya.
“Kepala Desa itu pimpinan desa, bijak dan arif, bukan arogan dan membuat hoax yang berbau SARA. Ditambah lagi melakukan penekanan terhadap warga yang mengurus administrasi surat ganti rugi,” imbuhnya.
Terkait adanya penekanan biaya surat ganti rugi tanah yang dialami Nurdin, sehingga uang 500 ribu rupiah yang sudah diberikan oleh Nurdin kemudian dikembalikan, Tugino beberapa hari saat dikonfirmasi awak media ini via seluler membenarkan kejadian tersebut.
“Iya Pak, tetapi saya kan hanya menjalankan perintah Pak Kades Pak,” jawab Tugino.
Disoal , apakah biaya pengurusan surat ganti rugi memang dipatokkan nominalnya oleh kepala desa, Tugino pun berkilah. Katanya, besaran biaya pengurusan surat ganti rugi itu berdasarkan kesepakatan antara Kepala Desa dengan yang bersangkutan.
Pernyataan Tugino S,Pd, ternyata bertolak belakang dengan informasi yang dihimpun awak media ini dari warga lainnya yang melakukan pengurusan administrasi surat ganti rugi sebidang tanah.
“Tidak ada kesepakatan sama sekali Pak, saya menjual lahan kebun milik saya. Biaya administrasi surat diminta 5 juta rupiah Pak kades melalui Pak Tugino. Saya katakan gak bisa lagi kurang, tapi kata Pak Tugino gak bisa, karena begitulah kata Pak kades. Ya saya bayarlah, mau gimana lagi. Dimana kesepakatannya?,” ungkap Fadil warga Dusun II Karya Maju.
Hal yang serupa juga diutarakan oleh Amrijal warga Dusun yang sama. Bahkan, saat mengurus surat ganti rugi tanah yang ia beli beberapa tahun lalu, Parulian Situmorang sempat meminta biaya administrasi surat sebesar Rp 10 juta.
“Awalnya Pak Kades meminta 10 juta biaya surat Pak, karena dikira tanah yang saya beli beberapa waktu lalu luasnya berlebih ternyata setelah diukur tidak berlebih, ” terang Amrijal.
Setelah itu , sambungnya, Parulian Situmorang pun meminta biaya administrasi surat tanah tersebut sebesar 5 juta rupiah.
“Kalau mau 5 juta, kalau gak mau tidak saya teken. Begitulah ucapan Pak Kades kepada saya beberapa hari lalu,” tukas Amrijal menirukan ucapan Parulian.
Karena merasa biaya terlalu besar dan terkesan menekan, Amrijal mengaku menghubungi kerabatnya salah seorang anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang berdomisili di Labuhan Bilik, Kecamatan Panai Tengah.
“Lalu kerabat kita itu menelepon Pak Kades agar dikurangi biaya administrasi surat ganti rugi itu. Akhirnya, dari 5 juta rupiah menjadi 3 juta rupiah yang saya bayarkan ke Pak Kades,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Desa Sei Pelancang Parulian Situmorang saat dikonfirmasi awak media ini via WhatsApp messenger app, Senin (18/09/2023), soal informasi dari warga Desa Sei Pelancang yang dimintai biaya administrasi surat ganti rugi secara variatif, 1 juta sampai 5 juta. Kembali Kades Sei Pelancang tidak memberi tanggapannya. Terlihat messenger app yang terkirim masuk dan dibaca dengan dua contreng biru.
Kepala Dinas PMD Kabupaten Labuhanbatu Abdi Jaya Pohan SH, dikonfirmasi awak media ini via seluler, apakah ada ketentuan persentase biaya administrasi surat ganti rugi dari besaran nilai penjualan, Abdi dengan tegas tidak ada dasar hukumnya yang mengatur hal itu.
Disoal lagi, bila dasar hukumnya tidak ada, apakah yang dilakukan oleh oknum kades tersebut bisa dikategorikan pungli? Abdi pun menegaskan itu jelas pungli.
“Ya jelas pungli itu bang, desa mana itu bang? Biar kita panggil kadesnya? Kata Abdi seraya menanyakan Kepala Desa mana yang melakukan hal itu.
“Nanti Pak Kadis bisa baca beritanya, dan tahu Kades mana yang melakukan hal itu,” jawab awak media ini. (Hidayat)